Wewenang Mahkamah Agung dalam pembatalan Peraturan daerah

WEWENANG MAHKAMAH AGUNG DALAM PEMBATALAN PERATURAN DAERAH

1. Pembatalan Peraturan Daerah Oleh Mahkamah Agung.
Wewenang Mahkamah Agung sebagai lembaga yang melakukan kekuasaan kehakiman diberi kewenangan oleh UUDNRI tahun 1945 untuk melakukan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang kewenangan demikian ini kemudian dikenal dengan istilah judicial review atau pengujian peraturan perundang-undangan oleh lembaga kehakiman. Bila dikaitkan dengan jenis dan hirarki peraturan Perundang-undangan yang diatur dalam pasal 7 Undang-Undang No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan peraturan Perundang-undangan, maka Mahkamah Agung memiliki kewenangan menguji terhadap:

Peraturan Pemerintah.
Peraturan Presiden.
Peraturan Daerah.
Wewenag Mahkamah Agung dalam rangka pembatalan Perda di atur dalam UUDNRI Tahun 1945 dan Undang-undang. Peraturan tentang Mahkamah Agung tersebut diatur di dalam :

Pasal 24A Ayat (1) UUD 1945 menyatakan : “ Mahkamah Agung Berwenang mengadili pada tinggkat kasasi , menguji peraturan perundang-undangan dibawah Undang-undang di bawah Undang-undang terhadap Undang-undang, dan mempunyai wewengang lainnya yang diberikan oleh Undang-undang.
Pasal 11 ayat (2) huruf b dan ayat (3) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasan Kehakiman. Ketentuan Pasal 11 ayat (2) huruf b menyatakan : “ menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-undang terhadap Undang-undang. Ketentuan pasal 11 ayat (3) menyatakan : Pernyataan tidak berlaku peraturan perundang-undangan sebagai hasil pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dapat diambil baik dalam pemeriksaan tingkat kasasi maupun berdasarkan permohonan langsung kepada Mahkamah Agung.
Pasal 31 dan 31A Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, sebagaimana telah berubah dua kali terakhir dengan Undang-undang Nomor 3 tahun 2009. Ketentuan Pasal 31 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 menyatakan:
Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji secara materiil hanya terhadap peraturan perundang-undangan di bawah ini Undang-undang
Mahkamah Agung berwenang menyatakan tidak sah semua peraturan perundang-undangan atas alasan bertentangan dengan peraturan-undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.
Putusan tentang pernyataan tidak sahnya peraturan perundang-undangan sebagaimana yang di maksut ayat (2) dapat diambil berhubungan dengan pemeriksaan dalam tingkat kasasi.
Peraturan perundangan yang dinyatakan tidak sah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Untuk melaksanakan kewenangan pengujian peraturan perundang undangan, Mahkamah Agung telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1999, tentang Hak Uji Materiil yang dinyatakan tidak berlaku dan digantikan dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004, tentang Hak Uji Materiil. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004 mempersempit kewenangan pengujian oleh Mahkamah Agung yang oleh UUD dan undang-undang diberi kewenangan menguji materiil dan formil peraturan perundang-undangan, menjadi hanya melakukan pengujian materiil terhadap materi muatan peraturan perundang-undangan. Hal ini berarti Mahkamah Agung tidak memeriksa atau menguji aspek formil penyusunan dan pembentukan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Kondisi demikian terkesan bertindak di luar kewenangan, yakni membatasi kewenangan sendiri yang juga merupakan bagian dari kewajiban hukum dan kepastian hukum itu sendiri.[1]

kewenangan Mahkamah Agung melakukan pengujian Peraturan Daerah lahir dari kewenangan yang disebut judicial review. Dalam keadaan demikian, maka Mahkamah Agung adalah lembaga kehakiman yang diberi tugas menyelesaikan konflik norma yang timbul dari lahirnya suatu produk peraturan perundang-undangan, termasuk Peraturan Daerah. Dalam menjalankan fungsi demikian itu, Mahkamah Agung bersifat pasif menunggu diajukannya permohonan keberatan dari para pihak yang berkepentingan di daerah.[2]

Mengenai ketententuan pengujian Perda secara spesifik pula di atur dalam Pasal 145 Undang-undang No. 12 Tahun 2008 tentang Pemda. Pasal 145 tersebut memuat ketentuan sebagai berikut :

Perda disampaikan kepada pemerintah paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan.
Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau Peraturan peraturan-undangan yang lebih tinggi dapat di batalkan oleh Pemerintah.
Keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pasa ayat (2) ditetapkan dengan peraturan presiden paling lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Palaing lama 7 (tujuh) hari setelah keputusan pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), kepala daerah harus menghentikan pelaksanaan Perda dan selanjutnya DPRD bersama kepala daerah mencabut Perda dimaksud
Apabila Privinsi/Kabupaten/Kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan alas an yang dapat dibenarkan oleh Peraturan Perundang-undangan, kepada kepala daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung.
Apabila keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat(5) dikabulkan sebagaian atau seluruhnya, putusan Mahkamah Agung tersebut menyatakan Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum.
Melihat ketentuan dari pasal 145 Undang-undang No. 12 Tahun 2008 tentang pemerintah daerah tersebut dapat dimaknai bahwa pemerintah Pusat diberi kewenangan untuk melakukan pengujian terhadap perda. Kewenangan tersebut diberikan dalam rangka pengawasan pemerintah daerah termasuk produk hukum yang ditetapkan di daerah. Sementara kewenagan yang diberikan pada Mahkamah Agung hanya melakukan prngujian terhadap Peraturan Presiden yang membatalkan Perda apabila ada kepala daerah yang berkeberatan.

`Terhadap permasalahan kewenangan Mahkamah Agung dalam menguji Perda, di Indonesia pada saat ini terdapat tiga pandangan utama, yaitu :[3]

Pandangan yang menyatakan bahwah Mahkamah Agung tidak Mempunyai wewenang menguji Perda.
Pandangan yang menyatakan bahwa Mahkamah Agung satu-satunya Lembaga yang Mempunyai wewenang menguji Perda.
Padangan yang menyatakan bahwa Mahkamah Agung dan pemerintah sama-sama mempunyai wewnang menguji Perda.
2. Alasan Pembatalan Perda

Dalam Pembatalan Perda, baik itu yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Mahkamah Agung untuk menilai dan menentukan apakah Perda itu dapat diberlakukan atau tidak. Hanya saja, dalam pembatalan Perda yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat berbeda dengan pembatalan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung. Yang di jadiakan acuan oleh Pemerintah Pusat dalam pembatalan Perda adalah:

Kepentingan umum
Peraturan Perundangan-undangan yang lebih tinggi tingkatannya dari Perda.
Ketentuan normatif pengujian Perda oleh Pemerintah Pusat Termuat dalam Pasal 136 ayat (4) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah yang menegaskan bahwa “ Perda sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) di larang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi”. Selanjutnya pada Pasal 145 ayat (2) menegaskan bahwa “ Perda sebagaimana dimaksud pada ayat yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh pemerintah”.

Dalam penjelasan Pasal 136 Ayat (4) tersebut, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “bertentangan dengan kepentingan umum” adalah kebijakan yang mengakibatkan terganggunya kerukunan antar warga masyarakat, terganggunya pelayanan umum, dan terganggunya ketentraman ketertiban umum serta kebijakan yang bersifat diskriminatif. Mengingat peraturan daerah merupakan peraturan perundang-undangan yang bersifat local (local wet), maka yang dimaksud dengan istilah “kepentingan umum”, tidak lain merupakan kepentingan umum yang hanya mencakup daerah setempat. Yang menjadi permasalahan adalah, alat ukur apakah yang dipakai Pemerintah Pusat dalam hal menafsirkan bertentangan tidaknya suatu Perda dengan kepentingan umum, mengingat banyaknya daerah-daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota yang tersebar diseluruh wilayah Indonesia dengan corak masyarakat yang majemuk dan pluralistik.[4]

Sedangkan yang dijadikan acuan oleh Mahkamah Agung dalam pembatalan Perda ketentuan yang termuat dalam Pasal 31 ayat (2) memberi ukuran atau alasan suatu peraturan di bawah undang-undang dapat dibatalkan, yaitu:

1. karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (aspek materil); atau

2. pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku (aspek formil).

Untuk melaksanakan kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan, Mahkamah Agung telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 1 Tahun 1999 tentang Hak Uji Materil yang sudah diganti dengan Perma No. 1 Tahun 2004. Dalam Perma ini kewenangan pengujian oleh Mahkamah Agung yang oleh UUD dan UU diberi kewenangan menguji materil dan formil peraturan perundang-undangan menjadi hanya melakukan pengujian materil terhadap materi muatan peraturan perundang-undangan. Hal ini berarti Mahkamah Agung tidak akan memeriksa atau menguji aspek formil penyusunan dan pembentukan peraturan perundangundangan di bawah undang-undang, termasuk Perda.

Dalam menjalankan kewenangannya itu, Mahkamah Agung bersifat pasif (menunguh ada yang diajukan ke Pengadilan atau Mahkamah Agung).

Pasal 24 ayat (1) UUDNRI Tahun 1945, yaitu bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan dan Mahkamah Agung adalah lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman. Sebagai suatu lembaga peradilan, Mahkamah Agung harus menungung kasus yang diajukan sehingga dalam hal ini bersifat pasif.
Pasal 26 ayat (2) UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman di atur bahwa “Putusan tentang peryataan tidak sahnya peraturan perundang-undangan tersebut dapat diambil berhubung dengan pemeriksaan dalam tingkat kasasi.”
Pasal 1 ayat (1) peraturan Mahkama Agung Nomor 1 tahun 1999 tentang Hak Menguji Materil diatut sebagai berikut “ Hak Uji material adalah hak Mahkamah Agung untuk menguji secara material terhadap peraturan perundang-undangan, sehubungan dengan adanya gugatan atau pemohonan.”
Permohonan keberatan yaitu suatu permohonan sekelompok masyarakat atau perorangan yang berisi keberatan terhadap berlakunya suatu peraturan perundang-undangan yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi diajukan ke Mahkamah Agung baik secara langsung ke Mahkamah Agung maupun melalui Pengadilan Negeri yang membawahi wilayah hukum tempat kedudukan pemohon untuk mendapatkan putusan[5].

Mengenai Perda tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, hal ini sesuia dengan penerapan prinsip-prinsip umum dalam tata urutan peraturan Perundangan-undangan, yaitu prinsip lex superior derogate lex infiriore. Artinya prinsip yang mengharuskan norma hukum yang ada di atasnya. Hal tersebut berkaitan dengan hirarki norma hukum yang dikemukakan oleh Hans Kalsen dalam teorinya mengenai jenjang norma hukum (stufentheorie).

Menurut Hans Kalsen, norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan. Suatu norma yang lebih rendah berlaku bersumber dan berdasarkan pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasarkan pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seharusnya sampai pada suatu norma yang dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif, yaitu norma dasar (groudnom).[6]

Berdasarkan teori jenjang norma Hans Kalsen, suatu peraturan perundang-undangan itu selalu berdasarkan dan bersumber pada peraturan yang ada di atasnya, tetapi ke bawah menjadi sumber dan menjadi dasar bagi peraturan yang lebih rendah dari padanya. Dengan demikian, apabila peraturan perundang-undangan yang lebih rendah bertentangan dengan suatu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka peraturan tersebut batal demi hukum atau dapat dibatalkan.

3. Uji Materil Perda
Dalam teori tentang pengujian (toetsing), dibedakan antara materiile toetsting dan foarmeele toetsing. Perbedaan tersebut biasa di bedakan berkaitan dengan pengertianantara wet in materiile zin (undang-undang dalam arti materiil) dan wet in formelezim (undang-undang dalam arti formal). Pengujian atas materi muatan Undang-undang adalah pengujian materiil, sedangkan pengujian atas pembeentukannya adalah pengujian formal.

Jimly Asshiddiqie megajukan empat kritik sehubungan dengan diadakan pemisahan antara kegiatan pengujian materil (judicial review) UU dan materi peraruran di bawah UU, yaitu:[7]

Pemberiaan kewenangan pegujian (judicial review) materi undang-undang terhadap Undang-undang kepada mahkamah Konstitusi yang baru dibentuk menegaskan hanya sebagian tambahan perumusan terhadap materi UUD secara mudah dan tambal sulam, seakan-akan konsepsi hak uji materil peraturan yang ada di tangan Mahkamah Agung tidak turut berpengaruh dengan hak uji yang diberikan kepada Mahkamah Konstitusi. Perumusan demikian terkesan seakan kurang didasarkan atas pendalaman konseptual berkenaan dengan engan konsepsi hak uji itu sendiri secara komrehensif.
2. Pemisahan kewenangan itu masuk akal untuk dilakukan jika sistem kekuasaan dianut masih didasarkan atas prinsip pembagian kekuasaan dan bukan prinsip kekuasaan yang mengutamakan ‘checks and balances sebagaimana yang dianut oleh UUD 1945 sebelum mengalami perubahan pertama dan kedua, UUD 1945 telah resmi dan tegas menganut prinsip pemisahan kekuasan horizontal. Oleh karena itu, pemisahan antara materi undang-undang dan materi peraturan di bawah undang-undang tidak seharusnya dilakukan lagi.
3. Dalam praktik pelaksanaannya nanti, secara hipotesis dapat timbul pertentangan substantif antara putusan Mahkamah Agung dengan pututusan Mahkamah Konstitusi. Misalnya peraturan A dinyatakan oleh Mahkamah Kostitusi dinyatakan bertentangan dengan UU A, tetapi UU B itu sendiri Mahkamah Konstitusi dinyatakan bertentangan dengan UUD. Oleh karena itu, sebaliknya, sistem pengujian peraturan perundang-undangan dibawah konstitusi diintegrasikan saja di bawah Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian, masing-masing Mahkamah dapat menmuaskan perhatian pada masalah yang berbeda. Mahkamah Agung menangani persoalan keadilan dan ketidakadilan bagi warga negara, sedangkan Mahkamah Konstitusi menjamin konstitusionalitas keseluruhan peraturan perundang-undangan.
4. Pembentukan Mahkamah Agung sehingga reformasi dan peningkatan kinerja Mahkamah Agung sebagai rumah keadilan bagi setiap warga negara dapat diwujutkan. Jika kewenangan pengujian materi peraturan di bawah UUD sepenuhnya diberikan diserahkan kepada Mahkamah Konstitusi, tentu beban Mahkamah Agung dapat dikurangi,termasuk dalam upayamenyelesaikan banyaknya tumpukan perkara dari waktu kewaktu bertambah tampah mekanisme penyelesaian yang jelas.
[1] http://fh.wisnuwardhana.ac.id/, Disharmoni Pengujian Peraturan Daerah, Diunduh Jum’at 8 April 2011 jam 09.13.

[2] Ibid.

[3] Sukardi, Pembatalan Peraturan Daerah dan Akibat Hukumnya, Ringkasan Disertasi, Unair, Surabaya, 2009, Hal. 56.

[4] http://www.facebook.com/icchank, Analisis Normatif Evakuasi dan Pengujian Peraturan Daerah Pemerintah Pusat, Diunduh Minggu 10 April 2011 Jam 22.00.

[5] http:www.Ujimateril.com, Uji Materil Petaturan Daerah, Di unduh Sabtu , 9 April 2011 jam 08.00.

[6] Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-Undangan, Kanisus Yokyakarta, 2007, Hal. 25.

[7] Fatmawati, Hak Menguji (toetsingsrecht) Yang Dimiliki Hakim Dalam Sistem Hukum Indonesia, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada 2005, Hal. 98.

Tentang yayankrismawan

biasa saja tapi sangat menakjubkan
Pos ini dipublikasikan di hukum, Konstitusi, Paguyuban Perangkat Desa dan tag , , , . Tandai permalink.

Tinggalkan komentar